Wednesday, 28 December 2011

Kali Ini Aku Berbicara

Aku adalah seorang lelaki 19 tahun, remaja yang menuju fase tua dengan focus pada pencarian jati diri yang sesungguhnya. Bukan Cuma jati diri sesaat yang masih labil dan mudah tergoyahkan oleh semilir angin pegunungan. Aku seorang remaja yang Cuma bisa bersikap biasa, bukan yang sempurna layaknya lelaki syurga. Aku juga tak bisa memberi, hanya menerima cinta dari Illahi, juga tak mampu menolak apalagi menghindari. Aku pula tak mampu menahan tangis, tak pula mampu menghapus tangis begitu saja.
Dulu aku yang seorang lelaki pemalu, malu akan diri sendiri, malu akan hakikat yang kumiliki, bahkan hanya untuk berteman. Diam dan sendiri layaknya selalu menjadi prioritas utama dalam pergaulan, tapi itu dulu. 4 tahun yang lau? Berubah total, seperti bom atom yang langsung menghanguskan Hiroshima, langsung hilang. Aku mulai pelan mengenal seorang teman, sahabat, kawan, saudara yang sejatinya selalu saling membahagiakan. Naluri lelaki yang ingin menjaga saudaranya pun kian muncul pelan-pelan, sedikit demi sedikit.
Suasana berlangsung cukup lama, mengenang dalam sebuah ikatan keluarga kecil dengan saudara berbeda karakter. Keras kepala, penuh emosi, pendiam, sabar, bijaksana berkumpul dalam satu wadah, tapi diluar itu kucobe bentuk lebih kecil lagi bersama saudaraku sendiri. Ya, saudara yang suka bersamaku, menguatkanku, mengingatkanku, menjadikan ku sebagai manusia yang mulai mengenal diri. Tapi apa itu sesaat saat saudaraku masih bersamaku atau selamanya walau dia telah pergi? Tak kupikirkan yang penting kami bersama berjalan dijalan yang benar.
Kenyataan yang cukup mengejutkan datang saat saudaraku mulai tak lagi percaya padaku, mulai mengacuhkan perkataanku, mulai tak memerdulikanku. Bahkan seolah-olah dia mau meninggalkan diriku dalam kesendirian. Akupun mengalah untuk dia, aku tak ingin dia sakit hati dengan perkataanku, aku memilih diam. Aku diam cukup lama, sampai akhirnya dia memang memilih untuk meninggalkanku bersama saudaranya yang lain. Akupun tak melarangnya, aku takut dia salah sangka dan kami menjadi semakin jauh, sekali lagi aku Cuma diam.
Saat semua yang kukatakan memang benar terjadi, aku berpikir dia akan datang padaku dan mengatakan "ternyata benar yang kau katakana", tapi aku memang bukan seorang peramal. Dia tak bersua sedikitpun tentang hal yang pernah kukatakan padanya dulu, dia jalani seperti biasa, mungkin dia bahagia dengan apa yang kutakutkan itu.
Untuk kesekian kali aku Cuma diam, kubiarkan dia disana, bahagia semoga selalu didapatnya, dan aku disini sendiri tak pernah akan menceritakan keadaan burukku padanya. Sehari, seminggu, sebulan nampaknya dia makin bahagia, senyuman hanya mampu kuberikan padanya, karena aku tak punya apa-apa lagi. Sampai akhirnya setahun aku dapat kabar dia kecewa dan masalah-masalah kerap muncul dari kata-kata canda. Dia bersamanya, tak lagi bahagia, ada apa? Tak sedikitpun kata terucap dari bibirnya yang dulu biasa untuk menggoreskan pena padaku saat dia ada masalah.
Akupun tak berani memaksanya hanya untuk mendapatkan keganjilan yang kupikirkan. Mungin memang kesendirian beberapa saat untuknya lebih baik, aku beranjak pergi menjauh untuk beberapa hari. Sampai sedikit-sedikit dia mau bicara apa yang menimpa dirinya, dan akupun sebagai seorang kakak hanya mendengarkan saja, berharap itu cukup memberikan ketenangan baginya. Kudengarkan segala rintihannya, dan ku kembalikan padanya akan ikap yang akan diambil, kali ini aku tak diam, hany satu kalimat terucap, "berdoalah, meminta pada-Nya".
Kini aku merasa kembali sudah saudaraku itu, perlahan aku mencoba mengerti dia kembali, karena dalam hatiku merasa dia sedang butuh seseorang yang menghibur. Dengan tenang aku mencobe mulai komunikasi yang lama tersendat oleh ego masing-masing, berharap tali itu akan tersambung kembali.
Rasanya tak terasa 6 bulan telah berlalu setelah hari itu, komunikasi kali kembali utuh, silaturrahim kami kembali terajut apik. Kali ini aku bertekad untuk mempertahankan semua ini, aku tak ingin lagi terpisah hanya karena ego yang menggebu-gebu. Paling tidak kalau dia tak mau mengalah, aku yang harus mengalah. Sebab ego harus dilawan dengan ketenangan, dengan kesabaran mengingatkan.
Kiranya ujian kembali aku dapati, rupanya kejadian itu masih berdampak pada dia, acap kali jika dia sedang termenung hatinya menjadi susah untuk ditebak. Aku yang dulu merasa sudah dapat mengenalnya, ternyata kali ini tak mampu membaca suasana dalam hatinya. Ya Allah, bantulah hambamu ini….
Bagaimana aku arus bertindak? Aku takut kalau sampai salah lagi dalam bertindak, bisa-bisa kejadian silam kembali terjadi. Akupun kini hanya mampu melihatnya, jika aku mampu masuk ke dalam pikirannya, aku berusaha masuk, jika tertutup rapat aku Cuma bisa menemaninya, jika ia tak mau, ku tak bisa apa-apa, kecuali doa.
Tak kusangka sedikit-sedikit cahaya itu mulai muncul lagi, kali ini bukan karena aku, tapi aku juga senang. Seperti yang telah aku tulis dalam dindingku sendiri "alhamdulillah...kalau mang dah senang bisa ngapain lagi?hehe...cuma mendoakan semoga tetp bahagia...mantap dah ^^". Ya itulah ungkapan hati untuk adikku yang sedang berbahagia bersama dirinya. Tanpa harus tahu apa yang terjadi disini, padaku, yang sedang menanti kepastian yang kiranya segera datang. Eh…eh…eh, kan tadi plotnya dibuat happy, kok seperti ini jadinya…diganti-diganti,,,ukey-ukey…hehehe
Yang penting sekarang semua bahagia dengan keadaannya masing-masing, semoga kebahagiaan itu berkah dan menjadi kebahagiaan yang jga mendatangkan kebahagiaan bagi semua…amin

No comments:

Post a Comment

terima kasih atas komentar anda

copyright 2017 adinda30