Kepada sang amertha
“…..kuberi kau segenggam perhiasan.Yaitu sungai.Lantas kau kalutkan kehulu itu
bersama dukamu…….”
Begitu Maha masih termenung dalam sejuta pikiran gundahnya. Bibirnya
terkatup pucat pasi,matanya yang bening sayu nampak berkaca-kaca,tangannya
gemetar,dan nampak jari-jemari lentiknya mengelus sebuah foto yang amat tua.
Foto-foto itu berjajar berdebu disudut meja kamarnya. Kamar yang serba biru
dengan tembok-temboknya yang masih mengkilap. Daun jendela terutama menghadap
timur,dimana setiap petang ia senantiasa menikmati paradesenja yang disajikan
Tuhan dalam visualnya. Ia tersenyum,sebentar,karena biru baginya adalah
kesejukan yang amat nyata… Bagaikan Sang Amertha.
“…..kuberi kau segenggam perhiasan.Yaitu sungai.Lantas kau kalutkan kehulu itu
bersama dukamu…….”
Begitu Maha masih termenung dalam sejuta pikiran gundahnya. Bibirnya
terkatup pucat pasi,matanya yang bening sayu nampak berkaca-kaca,tangannya
gemetar,dan nampak jari-jemari lentiknya mengelus sebuah foto yang amat tua.
Foto-foto itu berjajar berdebu disudut meja kamarnya. Kamar yang serba biru
dengan tembok-temboknya yang masih mengkilap. Daun jendela terutama menghadap
timur,dimana setiap petang ia senantiasa menikmati paradesenja yang disajikan
Tuhan dalam visualnya. Ia tersenyum,sebentar,karena biru baginya adalah
kesejukan yang amat nyata… Bagaikan Sang Amertha.
15 Januari 1975
Tanah makam itu masih saja penuh sesak petak-petak
2x1m.Rumput-rumput hijau nampak tumbuh tebal dan segar akibat hujan Jakarta
semalam.perempuan dengan baju putih dan celana panjang kuning gading itu
melangkah menyusur makam jalan merpati. Nampak di tangannya sekeranjang penuh
bunga aneka warna.Kaki-kakinya yang jenjang dengan langkah yang halus di buatnya
meyusuri makam itu. Panas terik dengan matahari diatas kepalanya tak ia hiraukan
dua puluh langkah kearah barat daya,itu yang selalu dia hafal. Perempuan itu
sampai pada sebuah makam deretan no 2 dari utara.Ia lututkan diri di hadapan
makam itu. Sebuah makam yang membawa kejutan bagi hidupnya,lantas senyumnya
mengembang. kembali,jari-jemarinya meraba halus nisan yang sudah tak terlihat
lagi bekas bacaannya.namun, selalu hidupnya tak akan lupa atas orang yang kini
hidupnya telah berbeda.Entah di alam apa.Dan saksinya setahun yang lalu.
AMERTHA RANDY BHUANA
Lahir : Jakarta, 23 oktober 1951
Wafat : 15 Januari 1974
Ia terus memandangi nisan itu.Memori-memori dalam otaknya memutar
balik ingatannya masa lalu. Bukan Dejavu. melainkan itu
nyata,kesaksian-kesaksian indah tentang dirinya dan Amertha.Sosok lelaki yang
amat ia cintai.meski ia dan dirinya amat berbeda.Amertha,sosok itu telah behasil
memikat hati sang Maha. Kesederhanaan dan kerendahhatiannya,begitu memukul dan
membelokan hati Maha kepada kesadaran hidup ini. Ia terus tersenyum kepada
gundukan tanah,penuh dengan kasih sayang. Dan sekelebat memori itu datang
kembali. Saat pertemuannya pertama kali dimasa lalu.
* * * *
“Mengapa kau hanya bangga menumpang nama kedua orang tuamu ?”,
“Amertha,sungguhnyalah aku tidak pernah bangga akan itu semua.”
“Maha,kau perempuan terhormat,berpendidikan,apa alasanmu ingin berteman denganku
?’
“Bukan itu Amertha, melainkan….lebih….lebih dari itu. aku ingin lebih dari itu
!?”,kata Maha tiba-tiba.
“ Tidak maha, aku hanya seorang pemuda yang hanya bisa meracau,sungguh tak
pantas,”
“ Aku tahu semua tentangmu.Latar belakangmu, keluargamu, hidupmu, kegiatanmu,
kebiasaanmu,kesukaanmu…..dan…..
“ Cukup Maha ! Hentikan semua ini. Kau hidup dengan sebuah keistimewaan,dan aku
tidak !”
“ Mertha, kau istimewa , dan karena hidupmu itu aku kagum padamu.”
“ Maha,ketahuilah…Cinta kita beda!”,kata Amertha dengan nada sangat menyayat
hati. Maha ingin sekali mengalirkan air mata,tapi tidak. Maha ungkapkan
segalanya.
“ Aku kagum pada hidupmu.Ijinkan aku belajar dari semua hidupmu. Apakah semua
perbedaan ini masalah ”
“ Ya.aku jawab ya,aku seorang nasrani , serta aku patuh dan taat padanya. Aku
seorang pemuda tanpa pekerjaan jelas,dan kau? kau masih menempuh pendidikan
dijenjang menengah. Usiamu masih terlalu muda. Dan aku…aku!”, Amertha tak
sanggup meneruskan kata-katanya.Ia menutup mukanya dengan kedua telapak
tangannya.
“ Dan hanya aku seorang muslim, karena aku seorang anak jenderal ! Iya !Jawab
Mertha!”, Maha saja menaikan tekanan nada bicaranya.
“ Iya! Dan aku seorang anak miskin ,mahasiswa putus sekolah karena kekurangan
biaya!Aku seorang anak pelacur!”
“ Mertha , dengarkan aku! Kutanggung semua biaya sekolahmu, makan, hidup,
fasilitas dan se….”
‘ Tidak!” Cukup!” Tidak pantas kau begitu, aku bukan seorang yang perlu kau
kasihani.biarlah hidupku seperti ini, dan nikmatilah hidupmu bersama harta dan
fasilitasmu. Selamat tinggal !”.
Maha termenung mendengar ucapannya, dan ia sadar, sang maha yang begitu gemilang
kemewahannya, semua keinginannya selalu dipenuhi, kini hanya kalah pada seorang
. . . sang Amertha. Lelaki misterius yang berhasil memikatnya. Maha memang sudah
gila,usianya baru18,namun ia kagum pada lelaki yang usianya 5 tahun di atasnya
tersebut. Kagum akan perjuangan hidup, ketaatannya, serta kesederhanaannya. Ia
hanya memandangi lelaki itu sampai jauh. Dan benar-benar menjauh.
* * * *
15 januari 1974
Disebuah gang sempit bertuliskan ‘‘ Merpati ”, kelurahan halim ramai dikerumuni
orang-orang dengan pakaian serba hitam, Rumah petak 4x6 meter penuh sesak oleh
isak tangis. Bendera kuning didepan gang melambai diterpa angin. Pertanda bahaya
itu telah dapat dibaca Sang Maha. Ketika ia melangkah memasuki gang
itu,pikirannya melayang, akalnya tak lagi ditempat, kakinya “dipaksa” maju
menjelajahi gang duka itu’.Bibirnya pucat terkatup, matanya kehilangan binar
bintang. Ia terus melangkah, dan….apa yang ia dapati ? Lelaki itu telah
berbungkus kain kafan. Matanya terpejam, tiada lagi denyut nadi dan jatung. Dengan
kaki lemas ia terduduk sepi di samping pembaringan terakhir Amertha. Lalu ia
sadarkan pada jantung sang Amertha. Tiada lgi tanda-tanda kehidupan. Dan hidup
maha harus tetap dilanjutkan. Ia hantarkan Amertha yang amat (sangat) ia ingini.
Tapi sayang, kelanjutan hidup amertha yang ingin diketahui Maha, diputus Tuhan
sampai detik ini. Tapi ? kafan? Mengapa dengan kain kafan ? Mengapa dengan
lantunan do’a keranda mayat dan pujian-pujian pada Tuhan. Bukaknkah ! Bukan ! tak
mungkin amertha berbohong. Tapi, apa yang selama ini ia pikirkan ? kenapa harus
berbohong. Karena apa, karena ia ingin berbeda . dan apa maksud iring-iringan
ini ? langit hitam itu memanyungi jenazah ini. Jenazah ini.
Pikiran maha makin tak karuan. Asal smua tahu, kenapa ? Maha melihat jenderal
bintang 3 teman ayahnya melawat kerumah Amertha , puluhan karangan bunga
berjibun dalam gang sempit. hingga anak-anak kecil ‘melongo’ melihat karangan
mangga setinggi pohon mangga. “TURUT BERDUKA CITA…..Drs. Mahfuni
Mahfud….Hadinata, S.H, suhardi, BA. Dra. Istatur Mani ….Ka. PT.sinar djaya ,
Direktur Utama Bank ……. Mayjen Soelano.” dan masih banyak lagi.” Apa ini Amertha
, Apa yang kau sembunyikan pdaku !”, teriak batin sang Maha.
Deretan nama-nama orang menyebut Maha salah informasi. Siapa Amertha ? Mengapa
ia menyembunyikan idsentitasnya ? Untuk apa ! pikiran it uterus mengacak-acak
pikiran Maha hingga sampai tubuh amertha di liang lahat, disaksikan deretan
orang-orng penting yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu, yang ia kenal
lewat ayahnya. Namun apa ? apa artinya ini Amertha.
“Bagiamana kelanjutan hidupku jika tanpa kata-kata yang (hendak) kau jelaskan
padaku”,pikirnya bersama batin yang kacau balau.
15 Januari 2011
Pagi itu Jakarta berseri. Tanpa asap, tanpa hujan. Sinar matahari
begitu hangat. Maha,membuka jendela kamarnya, jemari tangannya yang halus meraih
foto berbingkai coklat yang telah berdebu disudut meja kamarnya. Tiba-tiba suara
anak kecil yang manja,dengan lembut menyapanya.
“ Nek……nek…… sni deh ! Mertha mau Tanya !”, kata anak kecil itu dengan wajah
yang imut & manja .
“ Iya…. apa cucuku sayang !“jawab nenek.
“ Sini deh ! duduk nonton TV. kok pagi-pagi ada berita malaria, mobil-mobil
dibakar, motor dibakar, jahat ya?” Tanya ank itu dengan polos.
“ Bukan, itu malaria dari 15 januari , itu peritiwa penting sampai sekarang
belum terpecahkan.”jawab maha ,sang nenek ,kepada cucunya yang masih amat lgu.
“ Kenapa begitu ?”, Tanya sang cucu kembali.
“ Mertha cucuku, semua itu karena kedatangan orang asing dari jepang,makanya
mereka marah. Tapi, sayangnya orang kita yang jadi korban, ada 11meninggal, 300
luka-luka, 807 mobil dan 187 motor dibakar, bangunan rusak, 160 kg emas hilang,”
terang Maha.
“ Jahat ya nek “
“ Iya …..memang jahat “,jawab Maha sambil menittikan air mata.
“ Lho, kenapa nenek nangis ?”
“ tidak apa-apa ,sana ! main dengan temanmu, matikan TV-nya”, kata maha sambil
mengusap air mata. lalu berlarilah cucunya keluar.
Didalam kamar, Maha masih memandangi foto Amertha. peristiwa 37 tahun lalu telah
merenggut nyawa sang Amertha. Amertha, mengapa ia tewas dengan begitu. Apakah
demonstrasi di larang. Smua karena tanaka kukei, andai PM Jepang itu tak kesini,
dan presiden Soeharto tidak menerimanya. Aku,Maha tak akn kehilangan Amertha,
dalam insiden 15 januari itu.
“ Dan kini, ingatlah Amertha, di usia ke 22 aku berhasil lulus S1 psikologi.
Lantas pada usia itu aku menikah dengan seorang lelaki yang baik hati. Tak perlu
ku sebut namanya. dan ia memberiku satu putra. Lantas putraku memberiku satu
cucu laki-laki, dia adalah Amertha. Kini aku menua, sendiri karena suamiku telah
berpulang saat usianya 50 tahun. Bolehkah aku mengenang cintaku, keinginanku, dan
tetap…. satu rahasia terbesar dalam hidupku. mungkin sampai aku mati. Siapa
dirimu Amertha ???”
Lantas Maha menghapus derail air mata tuanya. Ia sematkan baju hitamnya,
kemudian keluar rumah dengan sekeranjang bunga aneka warna.
Jakarta, 15 Januari 2011
21:23
(H.Sekar Sari)

No comments:
Post a Comment
terima kasih atas komentar anda